Kamis, 16 Januari 2014

Gelandangan dan Pengemis



Menjamurnya gelandangan dan pengemis di kota-kota besar nampaknya sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang tidak dapat terelakkan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980, gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Sedangkan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Gelandangan dan pengemis biasanya bermula dari para transmigran yang sengaja datang ke kota untuk mencari peruntungan. Apabila mereka tidak berhasil, maka akan berakhir pada maraknya tindakan kriminal atau menyandang profesi sebagai pengemis. Menurut pandangan mereka bahwa akan lebih baik untuk mereka tetap berada di kota sebagai pengemis daripada harus kembali ke desa sebagai pengangguran. Ibukota DKI Jakarta menjadi salah satu wilayah tujuan para pengemis mengadu nasib. Mereka sengaja datang untuk meraup keuntungan sebagai pengemis karena daya tarik ibukota yang seakan menjamin kehidupan setiap warganya. Awalnya mereka hanya sekadar mencoba tergiur oleh keuntungan yang didapat oleh beberapa rekan mereka yang sebelumnya telah berpengalaman dalam hal ini. Namun, setelah mereka membuktikannya sendiri, mereka nampak menikmati dan ketagihan menjalani profesi ini.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk megemban profesi sebagai pengemis. Pertama, faktor ekonomi. Keadaan ekonomi yang kurang dari kata cukup bahkan minus dihadapkan dengan biaya hidup yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga membuat seseorang berpikir untuk mengambil jalan pintas dalam menghasilkan uang. Kedua, pendidikan. Kekayaan akan pengetahuan menjadi faktor penting dalam persaingan global. Kebanyakan pengemis berpendidikan rendah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berperan dalam masyarakat. Selain itu, seseorang dengan pengetahuan rendah serta hanya ingin berpikir secara simple membuatnya terhindar dari kata usaha dan mengambil jalan mudah untuk menghasilkan uang, yaitu mengemis. Ketiga, ketergantungan. Hal ini murni berasal dari individu masing-masing dimana sifat malas mendominasi dalam pribadinya sehingga ia hanya mampu bergantung pada orang lain. Keempat, lingkungan. Ketiga faktor tersebut ditambah dengan faktor lingkungan menjadi penyebab kuat yang menginspirasi seseorang memutuskan untuk menjadi pengemis.

Tak hanya orang tua, bahkan anak-anak dan lansia pun sepertinya dikerahkan untuk meminta uang pada warga-warga kota. Bermodal muka melas dan pakaian lusuh, selanjutnya mereka menjalankan aksi dengan berbagai cara. Ada yang sengaja membawa anaknya saat mengemis, ada yang berpura-pura cacat, dan lain sebagainya karena hal-hal tersebut dianggap akan meningkatkan rasa empati. Kuantitas pengemis yang semakin meningkat membuat beberapa pihak tertarik memanfaatkannya dengan membentuk jaringan sindikat pengemis. Para pengemis tersebut dikumpulkan menjadi sebuah komunitas untuk selanjutnya dikerahkan setiap harinya untuk mengemis di jalanan ibukota. Hasil yang didapat selanjutnya para pengemis itu berikan pada seseorang yang bisa disebut koordinator yang bertanggung jawab pada komunitas tersebut. Hasil yang didapat dari kerja keras pengemis-pengemis tersebut tidak mampu dinikmati sepenuhnya oleh mereka sendiri. Hal ini nampaknya telah disadari oleh pemerintah sehingga gencar dilakukan pembersihan dan penggrebekan terhadap jaringan ini.

Larangan untuk mengemis sebenarnya telah diatur secara jelas dalam Buku Ketiga KUHP dalam Pasal 504 dan Pasal 505 tentang Tindak Pidana Pelanggaran bahwa barang siapa yang mengemis dan/atau menggelandang di muka umum akan diberikan hukuman kurungan tergantung pada jenis operasinya. Pemkot DKI Jakarta khususnya telah menanggapi serius masalah ini karena pengaruhnya yang cukup besar terhadap kenyamanan warga ibukota. Baru-baru ini diberlakukan secara tegas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum bahwa bagi siapapun yang terlihat memberi uang kepada pengemis akan didenda sebesar Rp 20 juta. Hal ini dimaksudkan untuk memberi efek jera sehingga hal ini tidak akan berulang-ulang terjadi.  Selain itu, Pemkot DKI Jakarta pun sering melakukan sweeping terhadap para pengemis yang beraktivitas di jalanan ibukota dan selanjutnya diberikan wewenangnya kepada panti sosial.

Sebagai pusat pemerintahan negara Indonesia, seharusnya DKI Jakarta mampu menjadi contoh bagi kota-kota lainnya dilihat dari berbagai sektor, termasuk keindahan. Para gelandangan dan pengemis dianggap telah memperkeruh dan memperburuk estetika kota sehingga sepatutnya perlu diberikan tindakan terhadap keberadaannya tanpa mengurangi rasa saling menghargai. Tidakan tegas Pemkot serta dukungan pengertian dan peran serta masyarakat dibutuhkan sebagai tombak awal penciptaan ibukota Jakarta yang bersih, indah dan nyaman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar