Menjamurnya gelandangan dan pengemis di
kota-kota besar nampaknya sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang tidak
dapat terelakkan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980, gelandangan
adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan
yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan
pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Sedangkan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan
meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan
belas kasihan dari orang lain. Gelandangan dan pengemis biasanya bermula dari
para transmigran yang sengaja datang ke kota untuk mencari peruntungan. Apabila
mereka tidak berhasil, maka akan berakhir pada maraknya tindakan kriminal atau
menyandang profesi sebagai pengemis. Menurut pandangan mereka bahwa akan lebih
baik untuk mereka tetap berada di kota sebagai pengemis daripada harus kembali
ke desa sebagai pengangguran. Ibukota DKI Jakarta menjadi salah satu wilayah
tujuan para pengemis mengadu nasib. Mereka sengaja datang untuk meraup
keuntungan sebagai pengemis karena daya tarik ibukota yang seakan menjamin
kehidupan setiap warganya. Awalnya mereka hanya sekadar mencoba tergiur oleh
keuntungan yang didapat oleh beberapa rekan mereka yang sebelumnya telah
berpengalaman dalam hal ini. Namun, setelah mereka membuktikannya sendiri,
mereka nampak menikmati dan ketagihan menjalani profesi ini.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang
memutuskan untuk megemban profesi sebagai pengemis. Pertama, faktor ekonomi.
Keadaan ekonomi yang kurang dari kata cukup bahkan minus dihadapkan dengan biaya hidup yang tinggi untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari sehingga membuat seseorang berpikir untuk mengambil jalan
pintas dalam menghasilkan uang. Kedua, pendidikan. Kekayaan akan pengetahuan
menjadi faktor penting dalam persaingan global. Kebanyakan pengemis
berpendidikan rendah sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk berperan
dalam masyarakat. Selain itu, seseorang dengan pengetahuan rendah serta hanya
ingin berpikir secara simple
membuatnya terhindar dari kata usaha dan mengambil jalan mudah untuk
menghasilkan uang, yaitu mengemis. Ketiga, ketergantungan. Hal ini murni
berasal dari individu masing-masing dimana sifat malas mendominasi dalam
pribadinya sehingga ia hanya mampu bergantung pada orang lain. Keempat,
lingkungan. Ketiga faktor tersebut ditambah dengan faktor lingkungan menjadi
penyebab kuat yang menginspirasi seseorang memutuskan untuk menjadi pengemis.
Tak hanya orang tua, bahkan anak-anak
dan lansia pun sepertinya dikerahkan untuk meminta uang pada warga-warga kota.
Bermodal muka melas dan pakaian lusuh, selanjutnya mereka menjalankan aksi
dengan berbagai cara. Ada yang sengaja membawa anaknya saat mengemis, ada yang
berpura-pura cacat, dan lain sebagainya karena hal-hal tersebut dianggap akan
meningkatkan rasa empati. Kuantitas pengemis yang semakin meningkat membuat
beberapa pihak tertarik memanfaatkannya dengan membentuk jaringan sindikat
pengemis. Para pengemis tersebut dikumpulkan menjadi sebuah komunitas untuk
selanjutnya dikerahkan setiap harinya untuk mengemis di jalanan ibukota. Hasil
yang didapat selanjutnya para pengemis itu berikan pada seseorang yang bisa
disebut koordinator yang bertanggung jawab pada komunitas tersebut. Hasil yang
didapat dari kerja keras pengemis-pengemis tersebut tidak mampu dinikmati
sepenuhnya oleh mereka sendiri. Hal ini nampaknya telah disadari oleh
pemerintah sehingga gencar dilakukan pembersihan dan penggrebekan terhadap
jaringan ini.
Larangan untuk mengemis sebenarnya telah
diatur secara jelas dalam Buku Ketiga KUHP dalam Pasal 504 dan Pasal 505
tentang Tindak Pidana Pelanggaran bahwa barang siapa yang mengemis dan/atau
menggelandang di muka umum akan diberikan hukuman kurungan tergantung pada
jenis operasinya. Pemkot DKI Jakarta khususnya telah menanggapi serius masalah
ini karena pengaruhnya yang cukup besar terhadap kenyamanan warga ibukota.
Baru-baru ini diberlakukan secara tegas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum bahwa bagi siapapun yang terlihat memberi uang kepada
pengemis akan didenda sebesar Rp 20 juta. Hal ini dimaksudkan untuk memberi
efek jera sehingga hal ini tidak akan berulang-ulang terjadi. Selain itu, Pemkot DKI Jakarta pun sering
melakukan sweeping terhadap para
pengemis yang beraktivitas di jalanan ibukota dan selanjutnya diberikan
wewenangnya kepada panti sosial.
Sebagai pusat pemerintahan negara
Indonesia, seharusnya DKI Jakarta mampu menjadi contoh bagi kota-kota lainnya
dilihat dari berbagai sektor, termasuk keindahan. Para gelandangan dan pengemis
dianggap telah memperkeruh dan memperburuk estetika kota sehingga sepatutnya
perlu diberikan tindakan terhadap keberadaannya tanpa mengurangi rasa saling
menghargai. Tidakan tegas Pemkot serta dukungan pengertian dan peran serta
masyarakat dibutuhkan sebagai tombak awal penciptaan ibukota Jakarta yang
bersih, indah dan nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar